Nuklir, Thorium, dan Hak Kita atas Masa Depan Energi Bersih



Oleh: Muhamad Zen
Wartawan dan Pemerhati Kebijakan Publik

Indonesia memasuki fase krusial dalam sejarah energinya. Kebutuhan listrik meningkat, target emisi kian ketat, dan ketergantungan pada energi fosil sudah menekan keberlanjutan lingkungan serta ketahanan ekonomi. Transisi menuju energi bersih bukan lagi pilihan moral semata—melainkan mandat konstitusi, bagian dari hak warga atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana amanat Pasal 28H UUD 1945.

Di tengah perubahan lanskap global itu, nuklir—termasuk teknologi thorium—kembali muncul sebagai opsi strategis. Bayang-bayang Chernobyl dan Fukushima masih melekat, tetapi kemajuan teknologi, standar keselamatan IAEA, dan regulasi nasional membuat pendekatan hari ini jauh lebih siap dan terukur. Dunia tidak lagi memandang nuklir sebagai ancaman, melainkan salah satu tulang punggung menuju energi rendah karbon.

Namun keberhasilan kebijakan nuklir tidak ditentukan teknologi semata, melainkan transparansi, kesiapan lembaga pengawas, dan partisipasi publik. Energi bersih adalah hak rakyat, dan kebijakan energi adalah perintah moral negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak itu—dengan kehati-hatian ilmiah.

Pulau Gelasa dan Peluang Energi Hijau Babel

Dalam konteks kedaulatan energi nasional, Bangka Belitung menyimpan peluang strategis. Pulau Gelasa digagas sebagai pusat PLTT berbasis thorium—pemanfaatan mineral monazit, “limbah timah” yang ternyata menyimpan energi masa depan.

Jika teknologi ini diwujudkan, kontribusinya tidak kecil: listrik berbiaya 50–60 persen lebih murah daripada fosil, pengurangan emisi hingga 98 persen, dan lahirnya kawasan studi energi hijau yang membuka lapangan kerja serta transformasi ekonomi. Bangka Belitung tidak hanya keluar dari ketergantungan ekonomi ekstraktif, tetapi naik kelas menjadi simpul energi bersih Asia.

Lebih jauh, PLTT Gelasa adalah strategi geopolitik: mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor Middle Oil Product (MOP) dari Singapura dan mendorong reformasi kebijakan energi ASEAN—dari konsumen menjadi produsen energi hijau.

Tiga Pilar Penguatan Kebijakan

Agar PLTT Gelasa tidak sebatas wacana, tiga pendekatan krusial diperlukan:

1. Teknokratik — memastikan validitas sains, keselamatan, dan efisiensi, serta memasukkan PLTT 50 MW dalam Raperda energi daerah.


2. Partisipatif — membangun penerimaan publik melalui dialog, bukan propaganda.


3. Kondusif — menciptakan tata kelola yang stabil, transparan, dan berkelanjutan.


Jika ketiganya berjalan, Bangka Belitung bukan sekadar pelopor PLTN/PLTT Indonesia, tetapi model transisi energi yang menyatukan ilmu pengetahuan, kepentingan sosial, dan spiritualitas ekologis.

Akhir Kata

Transisi energi bukan perjuangan teknologi, tetapi perjuangan martabat. Tugas kita bukan memilih antara takut atau berani, melainkan memilih bijak; berjalan dengan sains tanpa mengabaikan suara rakyat.

Pulau Gelasa adalah momentum. Ketika “limbah” menjadi sumber cahaya dan pulau kecil menjadi laboratorium masa depan negeri, kita tidak sekadar menghasilkan listrik—kita sedang menulis bab baru kedaulatan Indonesia.

Energi bersih bukan utopia. Ia hak, ia masa depan, dan ia harus dimulai sekarang—dengan keberanian, dengan integritas, dan bersama rakyat sebagai pusatnya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

Terimakasih telah berkunjung di website portal berita okepak.online.. Semoga anda senang!!
close