BANGKA BARAT — Di atas kertas, konstitusi menjamin bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun di perairan Keranggan, Bangka Barat, pasal sakral itu berubah menjadi ironi. Kamis (30/10/2025).
Di laut yang seharusnya menjadi sumber penghidupan nelayan, kini berkuasa jaringan tambang ilegal yang beroperasi dengan skema pungutan liar tersusun rapi.
Informasi yang beredar di grup *WhatsApp* “Keranggan Jaya” membongkar praktik “setoran awal” sebesar *Rp800 ribu per ponton* bagi penambang yang ingin beroperasi.
Lebih mencengangkan, dokumen pembagian dana itu menampilkan rincian yang seolah mengesankan legalitas sosial: Rp100 ribu untuk operasional, Rp500 ribu untuk masyarakat, Rp100 ribu untuk pemuda, Rp50 ribu untuk ibu-ibu, janda, lansia, anak yatim, dan rumah ibadah.
Yang paling mencolok, dokumen tersebut mencantumkan pihak *Kelurahan Keranggan sebagai pihak yang ‘mengetahui’*. Sebuah indikasi bahwa aktivitas ilegal ini tak lagi tersembunyi, melainkan terstruktur hingga ke lapisan sosial dan birokrasi lokal.
Padahal secara hukum, aktivitas tambang laut di kawasan Mentok–Keranggan jelas melanggar aturan. Berdasarkan *Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K*, kawasan tersebut ditetapkan sebagai *Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Alur Pelayaran, dan Konservasi Mangrove* — bukan zona pertambangan.
Lebih jauh, *UU Nomor 2 Tahun 2025 (Perubahan UU Minerba)* secara tegas menyebutkan bahwa kegiatan penambangan tanpa izin resmi merupakan *tindak pidana*. Tak hanya melanggar hukum, aktivitas tambang liar itu juga menyalahi prinsip pengelolaan kekayaan negara yang diatur dalam *PP No. 27 Tahun 2014 jo. PP No. 28 Tahun 2020* yang menuntut tata kelola aset negara dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik.
Namun, semua norma hukum itu tampak tak berdaya di laut Keranggan.
Nelayan tua bernama *M. Hadi* menggambarkan kepedihan mereka: *“Laut yang dulu tempat kami mencari hidup, sekarang rusak. Ikan makin jauh, air makin keruh.”*
Kapolres Bangka Barat, *AKBP Pradana Aditya Nugraha, SH., SIK.*, memang menyatakan akan menindaklanjuti laporan masyarakat dan menegaskan bahwa lokasi tersebut bukan zona tambang. Kapolsek Mentok dan Kasatpolair pun disebut telah melakukan penertiban.
Namun, hingga Kamis ini, ponton-ponton tetap beroperasi seolah tak tersentuh hukum. Sosok *Ajang*, yang disebut masyarakat sebagai “cukong timah” pengendali wilayah tersebut, masih bebas berkeliaran tanpa tindakan berarti.
Kenyataan ini melahirkan sindiran getir di kalangan warga: *“Hukum kuat di darat, tapi ompong di laut.”*
Ketika hukum hanya berhenti pada kertas, dan negara gagal hadir untuk menegakkan kedaulatan di perairannya sendiri, maka yang berdaulat sesungguhnya adalah cukong.
Keranggan kini bukan sekadar titik di peta Bangka Barat, melainkan cermin buram dari persoalan nasional: lemahnya penegakan hukum, rusaknya tata kelola sumber daya alam, dan hilangnya rasa keadilan bagi rakyat kecil yang hidup di tepi laut. (KBO Babel)
Tags
Bangka




