JAKARTA — Legitimasi kepala daerah terpilih kembali dipertanyakan. Kali ini, tiga warga negara Indonesia menggugat ambang batas kemenangan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai, ketentuan saat ini memungkinkan seorang calon menang meski hanya didukung oleh sebagian kecil pemilih, sehingga merusak prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Rabu (16/7/2025).
Permohonan pengujian materi terhadap Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dilayangkan oleh aktivis hukum Terence Cameron, bersama Geszi Muhammad Nesta dan Adnisa Prettya. Dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (15/7/2025), para pemohon mempersoalkan ketentuan yang menetapkan pasangan calon (paslon) kepala daerah cukup memperoleh suara terbanyak, tanpa batas minimal, untuk ditetapkan sebagai pemenang.
Menurut Terence, mekanisme tersebut membuka ruang bagi terpilihnya paslon yang sebetulnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih. Ia menyebut, sistem itu bisa melahirkan pemimpin dengan dukungan sangat rendah, bahkan kurang dari 10 persen suara, jika jumlah paslon terlalu banyak dan suara rakyat terpecah-pecah.
“Ini tidak memberikan legitimasi yang cukup. Pilkada bukan lotere yang siapa pun bisa menang dengan keberuntungan saja. Tanpa syarat kemenangan minimal, demokrasi jadi kehilangan makna substantifnya,” tegas Terence di hadapan panel hakim MK.
Perubahan dari sistem dua putaran ke sistem suara terbanyak tanpa ambang batas, lanjut Terence, merupakan bentuk kemunduran demokrasi. Ia menyoroti bahwa Undang-Undang sebelumnya (UU 12/2008 dan UU 1/2015) justru mensyaratkan paslon harus memperoleh suara di atas 50 persen atau minimal 30 persen disertai pemilihan putaran kedua, agar dapat dinyatakan sebagai pemenang yang sah.
Namun sejak diubah melalui UU 8/2015 dan dilanjutkan pada UU 10/2016, syarat perolehan suara minimal itu dihapus. Siapa pun yang mendapat suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang, tanpa memperhatikan seberapa besar dukungan riilnya.
“Dalam sistem seperti ini, bisa saja paslon terpilih hanya mendapat 6–7 persen suara jika banyak paslon ikut bertarung. Bagaimana rakyat bisa percaya pemimpin seperti itu mewakili kehendak mayoritas?” ujar Terence.
Ketentuan yang digugat berbunyi:
• Pasal 107 ayat (1): “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.”
• Pasal 109 ayat (1): “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.”
Para pemohon menilai pasal-pasal ini bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menegaskan pentingnya demokrasi, kedaulatan rakyat, dan kepastian hukum yang adil.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menafsirkan ulang ketentuan tersebut agar pemilihan kepala daerah wajib dilakukan dalam dua putaran apabila tidak ada paslon yang memperoleh lebih dari 50 persen suara pada putaran pertama. Hal ini, menurut mereka, akan menjamin pemimpin yang terpilih benar-benar didukung oleh mayoritas pemilih.
“Minimal, harus ada pengakuan bahwa 50 persen adalah syarat legitimasi minimum. Jika tidak, kepala daerah bisa saja punya kekuasaan besar tapi didukung rakyat sangat kecil,” jelas Geszi Muhammad Nesta.
Sidang perkara Nomor 110/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam nasihatnya, Arsul menegaskan agar para pemohon memperkuat argumentasi hukum, bukan hanya opini moral atau politik.
“Anda harus menjelaskan secara rinci bagaimana pasal yang diuji bertentangan dengan UUD, tidak cukup hanya memberi gambaran umum lalu menyimpulkan. Kami menilai pikiran hukum Anda, bukan hanya keresahan pribadi,” kata Arsul menegaskan.
Saldi Isra kemudian menutup sidang dengan memberikan kesempatan kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan. Mahkamah memberi waktu 14 hari kerja, dengan batas akhir pengumpulan berkas perbaikan pada Senin, 28 Juli 2025 pukul 12.00 WIB.
Perkara ini muncul tidak lama setelah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20–25 persen suara sah menjadi hanya 6,5–10 persen, tergantung jumlah penduduk di wilayah pilkada. Putusan itu membuka peluang semakin banyak paslon ikut dalam kontestasi, dan makin memperkuat urgensi syarat minimal perolehan suara untuk menjaga kualitas demokrasi lokal.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Rian Mahesa, menilai gugatan ini membuka diskursus penting tentang substansi demokrasi elektoral. “Demokrasi bukan cuma soal siapa menang, tapi siapa yang didukung. Kalau pemimpin hanya menang karena suara terbanyak dari 10 paslon, padahal cuma dapat 10 persen suara, itu jadi semacam demokrasi teknis yang jauh dari semangat representasi,” katanya.
Rian menilai sudah saatnya sistem pemilihan kepala daerah dikaji ulang agar tidak sekadar menjadi formalitas pemilihan, tetapi benar-benar menghasilkan pemimpin yang memiliki legitimasi kuat secara moral dan konstitusional.
Sejumlah aktivis prodemokrasi juga menyambut gugatan ini sebagai langkah korektif terhadap praktik politik elektoral yang kian pragmatis. Menurut mereka, demokrasi Indonesia sedang mengalami pergeseran dari esensi ke proseduralisme yang kaku dan rawan dimanipulasi elite.
Kini, Mahkamah Konstitusi dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Apakah suara terbanyak tanpa batas minimal cukup untuk menyatakan seseorang sebagai pemimpin yang sah? Jawaban atas pertanyaan ini bukan hanya akan menentukan masa depan pilkada, tapi juga akan mencerminkan seberapa besar komitmen bangsa ini terhadap kualitas demokrasi. (KBO Babel)